Lyrics
Rabu, 24 Desember 2008
Sabtu, 08 November 2008
PILGUB JAWA TIMUR
PILGUB Jatim 2008 diperhitungkan sangat berkualitas. Ini bertolak dari para Cagub yang bersaing, punya kekuatan seimbang. Maka Kemenangannya sangat bergengsi. Demikian penilaian Drs. H. Gatot Sudjito, M.Si., Wakil ketua DPD Partai Golkar Jatim periode 2005-2010, yang dituangkan dalam tulisan berikut. Ia juga dikenal sebagai salah satu blogger Indonesia dengan blog-nya gatotsudjito.wordpress.com
Calon gubernur (Cagub) Soekarwo akhirnya punya kendaraan politik sebagai tiket untuk ikut berlaga di Pilgub Jatim 2008. Secara resmi Soekarwo diusung Partai Demokrat (PD), dipasangkan dengan Cawagub Saifullah Yusuf yang diusung PAN. Pasangan ini sudah deklarasi 17 Februari 2008. Sebelum itu, Soekarwo sempat terombang-ambing menunggu keputusan DPP PDIP soal kepastian pencalonannya.
Seperti yang sudah diketahui publik, Soekarwo cukup lama berjuang dan bergerilya mencari dukungan dari PDIP. Hasilnya, dia menang konvensi di PDIP Jatim mengalahkan ketua DPP PDIP Sutjipto. Sebagai birokrat yang menjabat Sekdaprov Jatim, Soekarwo memang tidak punya Parpol. Harus mencari kendaraan Parpol untuk mengusungnya sebagai Cagub sesuai persyaratan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005.
Konvensi Cagub di internal DPIP Jatim telah menghasilkan pilihan dua nama populer yakni Soekarwo dan Sutjipto. Sesuai dengan mekanisme internal Parpol, dua nama itu yang diusulkan kepada DPP PDIP untuk dikerucutkan jadi satu nama. Akhirnya, setelah molor empat bulan lebih, DPP PDIP menetapkan Cagub Sutjipto.
Sebagai politisi, tentu saya paham tentang pertimbangan politik DPP PDIP menolak pencalonan Soekarwo. Keputusan tersebut sudah tepat bila ditinjau dari kaca mata pengambilan keputusan politik. Sebab, dalam terminologi pengambilan keputusan politik selalu mempertimbangkan beberapa hal.
Pertama, kekuatan politik PDIP di Jatim menurut hasil Pemilu 2004. Hasil pemilu, PDIP menduduki rangking ke 2 dan memperoleh 24 kursi di DPRD Jatim. Rangking ke 1 diraih PKB yang kini pecah menjadi dua faksi. Perpecahan PKB menyebabkan lahirnya PKNU yang kini sedang persiapan ikut verifikasi. Akibatnya, perlu redefinisi mengenai substansi kekuatan PKB sebagai pemenang pemilu di Jatim.
Dalam konteks setelah pecahnya PKB, ada pola pikir bahwa sesungguhnya PDIP telah tampil sebagai kekuatan politik terdepan di Jatim. Dan di internal PDIP sudah punya tradisi politik PDIP dalam menghadapi pilkada. Tradisi itu adalah bila memiliki modal politik yang cukup kuat, maka PDIP merasa mantap untuk mengusung kadernya sendiri.
Andaikata ternyata jagonya menang, tentu kemenangan itu sudah diprediksi sebelumnya. Termasuk sudah diprediksi pula tentang perolehan keuntungan politiknya sebagai penguasa daerah. Keuntungan politik tersebut akan menjadi modal utama bagi PDIP dalam menghadapi pemilu berikutnya. Dan, andaikata jagonya kalah, maka soliditas konstituen PDIP tetap terjaga, dan mudah dipelihara keutuhannya.
Sebaliknya, bila kekuatan PDIP dinilai tidak cukup kuat untuk mengusung calon kepala daerah dari kadernya sendiri untuk target kemenangan, maka PDIP tidak segan-segan mengusung dan mendukung calon dari luar PDIP. Calon dari luar ini bisa berasal dari Parpol lain atau calon non Parpol (birokrat, tokoh masyarakat). Pilihan dukungan terhadap calon ini dengan kriteria memiliki peluang besar untuk menang. Strategi sejenis ini sudah terbukti jitu diterapkan di arena pilkada beberapa daerah.
Pandangan politik seperti itulah yang bisa saya pahami mengapa PDIP mengusung Sutjipto dalam Pilgub Jatim 2008. Mesin politik PDIP lebih mudah digerakkan dengan andalan simbol kader PDIP sekelas Sutjipto. Efektifitas kinerja mesin politik harus diakui sangat besar peranannya bila ingin menang pilkada. Dengan demikian, keputusan DPP PDIP menetapkan Sutjipto dapat dipahami lewat logika politik seperti itu.
Lantas, apakah DPP PDIP meragukan peluang kemenangan Soekarwo sehingga Sekdaprov Jatim ini tidak diusung sebagai Cagub? Terus terang, hanya kalangan elit PDIP saja yang tahu persoalan secara mendetil. Sebagai orang luar, tentu tidak etis bila saya berspekulasi soal itu.
Kedua, faktor historis yang dialami PDIP dalam pilkada sebelumnya. Sudah jamak diketahui bahwa beberapa Parpol, termasuk PDIP, pernah trauma dalam pilkada sebelumnya. Pengalaman politik masa lalu, benar-benar menjadi pertimbangan bagi Parpol dalam pilkada berikutnya.
Pengalaman pahit adalah mengusung calon kepala daerah dari kader luar partainya. Setelah calonnya menang, tidak jarang komitmen politik mulai luntur. Kepala daerah terpilih, mulai menjaga jarak dengan mantan Parpol pendukungnya. Bahkan tidak jarang pula kepala daerah terpilih itu pindah ke Parpol lain. Dan melupakan janji politik untuk membesarkan Parpol pendukungnya.
Trauma politik seperti itu juga tercermin pada saat Pemilu 2004. Kepala daerah dari luar kader Parpol merasa tidak punya gawe politik saat pemilu legislatif dan pilpres. Dalam hal ini yang dirugikan adalah kepentingan politik Parpol yang pernah mengusung kepala daerah tersebut. Dulunya, Parpol mendukung calon kepala daerah dari luar kadernya itu karena tertarik dengan janji-janji politiknya. Misalnya, saat pemilu legisltif digelar, kepala daerah tersebut berjanji memperkuat power politik mantan Parpol pendukungnya. Tujuannya hanya satu, yakni mendongkrak perolehan suara, menambah jumlah kursi di DPRD dan DPR RI dari daerah yang bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada pilpres. Kepala daerah dari luar luar Parpol yang pernah didukung, ternyata tidak bisa diharapkan partisipasinya.
Menurut hemat saya, PDIP sudah kenyang dengan pengalaman politik semacam itu. Tentunya mereka sangat berhati-hati dalam mengusung Cagub dari luar kader Parpolnya. Tanpa kecuali ketika PDIP harus mengusung Cagub dari luar kader Parpolnya. Wajar saja bila PDIP Jatim bersikap tidak ingin jatuh dua kali di lubang yang sama. Sutjipto dengan perhitungan yang mantap ikut berlaga di Pilgub Jatim 2008 dengan segala konsekuensinya. Mantan ketua DPD PDIP Jatim itu membawa nama besar Parpolnya dalam Pilgub.
Kini, untuk sementara deretan daftar Cagub Jatim bertambah menjadi empat calon. Mereka adalah Soenarjo (Partai Golkar), Ahmady (Partai Kebangkitan Bangsa), Sutjipto (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan Soekarwo (Partai Demokrat). Dari keempat Cagub tersebut, baru Soekarwo yang secara resmi punya pendamping Cawagub yakni Saifullah Yusuf yang diusung PAN. Publik sedang menunggu sikap politik PPP. Parpol berlambang ka’bah ada kecenderungan tidak mendukungya Soekarwo.
Melihat kualitas Cagub yang sudah ada, tidak berlebihan bila saya katakan bahwa Pilgub Jatim 2008 sangat berkualitas. Sebab, empat Cagubnya punya kualitas yang seimbang dan masing-masing Cagub juga populer di mata publik. Artinya, siapa pun yang nantinya jadi pemenang Pilgub, maka kemenangannya sangat bergengsi karena mampu mengalahkan para pesaing yang rata-rata kuat.
Dalam konteks ini, andaikata Soenarjo menang Pilgub, sangat logis bila Partai Golkar merasa bangga atas kemenangannya. Sebuah kemenangan dalam pesta demokrasi yang berkualitas. Sebagai kader Partai Golkar, saya berada pada posisi terdepan menyambut kemenangan Pilgub yang berkualitas itu. (*)
Rabu, 05 November 2008
SIAPAKAH AHLU SUNNAH WAL JAMA`AH ???
Nabi Muhammad Saw. telah bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku dalam kesesatan selamanya, kekuatan Allah bersama jama’ah maka ikutilah kelompok mayoritas dan barang siapa yang menyimpang maka ia akan menyendiri dalam neraka”. HR. Turmudzi, Abu Nu’aim, al-Hakim dari Ibn Umar ra.
Dari diskripsi hadits Nabi di atas, kita dapat membaca keberadaan umat Islam di akhir jaman. Disamping itu, dalam hadits lainnya, Nabi menyatakan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 kelompok, yang dari kesemuanya hanya satu kelompok yang selamat, Nabi sendiri dalam hadits tersebut mengistilahkan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagaiman disebutkan dalam kitab Ahlussunnah al-`Asya’irah adalah istilah yang muncul untuk menunjukkan orang-orang yang berada pada jalan ulama salaf yang shaleh dan memegang teguh ajaran al-Quran, al-Sunnah dan al-Atsar yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad dan dari para shahabatnya. Term ini hanya untuk membedakan sekte ini dari sekte-sekte lainnya yang termasuk madzhab ahli bid’ah yang selalu mengikuti hawa nafsunya.
Kemunculan istilah ini diilhami dan terinspirasi dari diskripsi hadits Nabi Muhammad dalam rekaman haditsnya yang menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan dan hanya satu yang selamat dan berhak menduduki surga yang dijanjikan Allah dalam al-Qur'an, yakni firqah al-najiyah, Ahlussunnah wal Jama'ah. Dan hal itu kini benar-benar menjadi realita yang kemunculannya dimulai paska peralihan khalifahan Shahabat Utsman ibn Affan kepada Shahabat Ali ibn Abu Thalib. Perpecahan itu diawali dengan pro dan kontra penerimaan arbitrase (tahkim) yang dilakukan oleh pihak Ali ibn Abu Thalib dan pihak Mu'awiyyah. Kelompok baru itu adalah Khawarij dan Syi’ah yang pada mula kemunculannya hanya merupakan perpecahan madzhab politik, namun akhirnya berimplikasi pada perpecahan pandangan dan sikap serta manhaj ushul al-din (ilm al kalam).
Kelompok yang oleh Nabi Muhammad sudah didiskripsikan dan merupakan kelompok yang selamat nanti di akhirat, pada awalnya merupakan kelompok jumhur (mayoritas) yang muncul sebagai balance dari kedua madzhab yang telah mendahuluinya, Khawarij dan Syi’ah. Namun pada perkembangannya madzhab jumhur mulai terpecah-pacah. Perpecahan itu terus terjadi sehingga muncul satu madzhab yang disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, mayoritas ulama menyimpulkannya bahwa madzhab itu adalah sekte Ahlul Hadits, sekte Asya’irah dan sekte Maturidiyyah.
Ketiga sekte ini bukanlah merupakan aliran baru dalam zona kalam (teologi), tetapi mereka mengukuhkan dan menegaskan kembali kemurnian ajaran para salaf al-shalih yang diwariskan Nabi Muhammad kepada para pengikutnya dan seterusnya. Sebagaimana yang telah diungkapkan Dr. Muhammad Sa'id Ramdlan al-Buthi dan para ilmuwan Islam lainnya dalam kata pengantar kitab ahlussunnah al`asya’irah. Madzhab yang didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal (W. 241 H.), Abu Hasan al-`Asy’ari (W. 324 H.) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H.), hanya murni merupakan pembelaan terhadap kebenaran dan orisinalitas ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Hanya saja pasca kemunculan dua sekte terahir, Asya’irah dan Maturidiyyah, tidak ditemukan orang-orang yang ahli dalam berbagai bidang ilmu keagamaan kecuali ia adalah penganut sekte Asy’ari dan Maturidi. Seperti dalam bidang Hadits disebutkan al-Daruquthni, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdadi, ibn al-Shalah, al-Qaththan dan lain-lainnya merupakan penganut Asy’ari dan Maturidi. Dalam bidang Tafsir al-Jashshash Abu ‘Amr al-Dani, al-Qurthubi, al-Razi, al-Baidlawi dan ahli tafsir masyhur lainnya.
Dan dari ahli fiqh baik yang bermadzhab Hanafi seperti al-Saraksi, ibn Nujaim, Abdul Aziz al-Bukhari, ibn Abidin, al-Thahthawi dan mayoritas para ulama Pakistan dan India. Madzhab Maliki seperti Ibn Rusyd, al-Syathibi, al-Qarafi, ibn al-Hajib, al-Dasuqi, al-Sanusi, dan ulama-ulama mayoritas Maroko, madzhab Syafi’i seperti al-Juwaini dan anaknya al-Haramain, al-Ghazali, al-Razi, al-Amudi, al-Syairazi, al-Asfirayini, al-‘Izz ibn Abdussalam, al-Nawawi, al-Rafi’i, Zakariya al-Anshari, ibn Hajar al-Haitami, al-Ramli, al-Bujairami, al-Baijuri dan lainnya, ataupun madzhab Hanbali seperti al-Mawahibi al-Hanbali, ibn al-Syatha al-Hanbali dan para imam-imam pendahulunya.
Begitupun para pemimpin gerakan Islam Dunia mayoritas mereka memeluk madzhab Asy’ari dan Maturidi seperti, Shalahuddin al-Ayyubi, Raja-Raja dinasti Utsmaniyyah serta pimpinan gerakan-gerakan Islam seperti Di Mesir, Maroko, Sudan, Irak, Pakistan, India dan lainnya. Hal ini bukanlah tidak ditemukan orang-orang yang kompeten dalam bidang tertentu dari madzhab ahlul hadits, tetapi karena sedikitnya para ulama tidak menyebutnya secara perinci.
Dari sekian banyak ulama yang telah disebutkan diatas dan nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan adalah para pemeluk madzhab Asy’ari dan Maturidi dalam bidang teologi, apabila mereka adalah termasuk orang-orang yang ahli bid’ah dan tersesat keluar dari madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah dan termasuk kelompok yang rusak dan diancam dengan siksa api neraka yang sangat pedih, maka sangatlah celaka bagi mayoritas muslim dunia dari pasca madzahib al-arba’ah sampai sekarang yang mengikuti madzhab mayoritas sehingga mencapai sembilan sepersepuluhnya umat Islam di dunia?!
Perlu dicermati tentang hal ini, apabila mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang tersesat dan menyesatkan, maka mata rantai ajaran Nabi Muhammad yang dibawa dan diwarisi oleh para shahabatnya mengalami keterputusan. Dan pertanyaan yang perlu dijawab putus dimanakah mata rantai ilmu atau agama itu?
Pewarisan agama yang terus berkelanjutan sampai sekarang merupakan warisan dari Nabi Muhammad yang terus disampaikan secara kontinyu dan berantai dari Nabi Muhammad Saw. para shahabat, para tabi’in dan seterusnya sampai sekarang. Dalam hal ini para pendiri ketiga sektre adalah mereka para pewaris tradisi Islam baik dalam hal idiologi atau lainnya, seperti fiqh dan tasawwuf. Mereka adalah para pengikut al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i dan al-Hanbali dalam kawasan fiqh, sehingga keterputusan mata rantai pengetahuan tidaklah mungkin dan mustahil keberadaannya. Masyhur kiranya tentang siapakah guru-guru para pendiri madzhab fiqh hingga sampai ke tangan Nabi Muhammad Saw. Jadi keterputusan sanad ilmu dari Rasulullah sampai sekarang dalam hal ini sangat tidak rasional dan arealistis.
Jelaslah sudah dan tidak bisa diragukan lagi bahwa kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah didiskripsikan dalam rekaman sejarah Nabi Muhammad merupakan kelompok teologis yang diusung oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi dan Ahmad ibn Hanbal yang merupakan pengikut setia madzhab Hanbali, sebagaimana pernyataan beberapa ulama madzhab fiqh seperti ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Klaim ini bisa dibuktikan dengan mayoritas para ilmuwan Islam yang menyatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad dalam haditsnya adalah ahlul hadits yang menjadikan sumber keyakinannya berdasar pada al-Qur'an, al-Hadits dan Ijma' para Ulama, ahli berfikir yang dalam hal ini adalah sekte Asya'irah dan Maturidiyyah dan yang ketiga adalah ahlul kasyf dan wijdan yang dalam hal ini adalah para tasawwuf.
Implikasi dari diskripsi Nabi Muhammad diatas berekses pada keberadaan seorang muslim di hari akhir kelak, sebagaimana dinyatakan Abdul Fatah ibn Shalih Qudaisy al-Yafi'i dalam kitab al-Manhajiyyah al-'Ammahnya "sesuatu yang maklum adanya bahwa kebenaran dalam ushul dan teolog adalah satu dan perbedaan dalam ushul dan akidah tidak diperbolehkan, berbeda dengan perbedaan dalam masalah parsial fikih (furu' al-fiqhiyyah) dan hukum ketika sesuai dengan batasan dan aturannya". Hal ini juga ditegaskan oleh Abu Ishaq al-Syathibi dalam al-Muwafaqatnya yang menyatakan bahwa perbedaan yang terjadi pada diri para jurism fiqh ada dasarnya semuanya benar walaupun kebenaran itu hanya ada satu.
Klaim pengakuan diri sebagai ahlussunnahpun banyak dilakukan oleh beberapa kelompok yang merupakan sempalan dari kesatuan Islam yang utuh dan besar. Dan penegasian oknom tertentu tidak bisa terelakkan dengan memaparkan pernyataan bahwa semua aliran selain alirannya adalah sesat, syirik dan kafir. Hal ini jelas tidak sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak mudah untuk menstempel rival-rivalnya dengan label murtad, syirik, kafir dan sesat.
Kiranya sebagai umat Islam yang besar dan mengharapkan kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat, kita harus waspada dan hati-hati terhadap sekte-sekte Islam yang tidak sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, apalagi sekte-sekte baru yang sampai mengatasnamakan Islam baru atau aliran baru yang sudah jelas bahwa selain satu sekte Ahlussunnah wal Jama’ah jelas bukan kelompok yang selamat. Hal itu oleh al-Sahrastani telah tertuangkan dalam karyanya di bidang sejarah, al-Milal wa al-Nihal. Ketika sekte-sekte baru lahir kita berhak bertanya aliran yang keberapa dan menginduk pada klasifikasi mana? Sehingga kita bisa menilai apakah sekte baru, agama baru atau hanya perubahan wajah melalui operasi berbagai kecacatan dan kejelekannya atau malah makin memperparah kecacatan dan kerancuan akidah mereka?
Agama yang mendapat legitimasi atas kevaliditasannya hanya ada satu; yakni Islam dan Islam adalah agama yang hanya mengakui Allah adalah tuhannya, Muhammad Saw. adalah Rasul-Nya, al-Qur’an adalah kitab sucinya dan Ka’bah adalah kiblatnya. Dari Islam yang universal ini secara manhaji fiqh terdapat beberapa sekte yang tidak berimplikasi pada hal-hal yang prinsip dalam hal beragama. Namun, yang paling mendasar dan prinsipal adalah perpecahan sekte dalam masalah keyakinan atau akidah yang mampu menghantarkan umat manusia di akhirat kelak apakah ia akan masuk surga atau bahkan kekal untuk selamanya dalam luapan api neraka. Na’uzubillah.
Kamis, 30 Oktober 2008
Triono Wahyu Sudibyo - detikinet
Syekh Puji
Alat komunikasi lelaki berjenggot itu lebih sering berada di saku. Jarang ditaruh di hadapan orang lain, sehingga tak banyak yang tahu jenis ponselnya.
Saat wawancara dengan wartawan, ponselnya berdering. Setelah melihat layar, ia tekan tombol cancel dan memasukkan kembali ponselnya ke saku.
Ponsel Syekh Puji boleh dibilang sangat tua, Nokia seri 1112. Sangat 'aneh' untuk ukuran seorang miliarder. Seri ini tak mempunyai fasilitas istimewa selain untuk telepon dan sms.
Wartawan tak sempat menanyakan kenapa dia memakai ponsel yang di pasaran harganya kurang lebih Rp 200-300 ribu itu. Namun untuk beberapa hal, dia memang cuek. Termasuk soal ponsel.
Beberapa hari terakhir, pengusaha kaligrafi dari kuningan itu ramai dibicarakan, karena menikahi gadis berusia 12 tahun. Rencananya, gadis itu dipersiapkan sebagai General Manager (GM) PT Sinar Lendoh Terang (PT Silenter).
"Saya tidak tahu pernikahan saya jadi pro kontra, karena saya tak pernah melihat TV dan baca koran. Tahu-tahu saya ditelepon orang yang mengaku dari Komnas HAM dan perempuan atau apa gitu," kata Syekh Puji sambil tersenyum enteng. ( gah / fyk )